myspace

Friday, March 23, 2007

Cemburu....?

Layaknya pungguk, aku terdampar di penghujung masa dengan segudang harapan yang tak pernah terwujud,
terlalu setia aku menunggu janji yang kau hembus,
terlalu takut aku meninggalkan semu yang kau tawarkan,
hati terlalu berbunga untuk bersedih,
terlalu tertawa untuk menangis,

banyak nisan berjajar di sana, menoreh nama – nama buram terhapus masa,
bertabur bunga kesedihan akan sebuah kenangan yang pernah di tinggalkannya,

mereka mati,
bukan oleh nyawa,
bukan oleh raga,
tapi oleh cinta,
cinta semu yang selalu kau tebar ke penjuru jagat,
bukan salahmu jika mereka semua mati dan musnah terhapus tanah
bukan salah mereka yang dengan serta merta menelan semua keinginan yang telah di tawarkan,

tapi salahkan angin yang telah menerbangkannya,
menjadikannya butiran – butiran lembut racun berbisa,
salahkan kabar yang berhembus begitu kencang,
hingga telinga tak mampu membendungnya.
Hingga kepingan – kepingan hati terserak di tanah

Dan akhirnya
Kembali aku tertoreh dengan sedih, menyudut di sisi gelap kehidupan,
Aku terlalu cemburu untuk terbangun
Terlalu mencinta untuk di tipu dan diperdaya

Tapi aku tak ingin mati seperti mereka, bernisan kelam berlumut sepi
Aku mau hidup meski separuh nafas ini terbang bersama kesemuanmu…..

Thursday, March 22, 2007

dingin ?....

dingin...

malam sepi berteman jangkrik di terangi terik sang kunang - kunang
bersandar pada mimpi di siang semu, membentuk sebuah fatamorgana indah
ku coba melukis dan mereka gerangan wajah yang tak pernah ku temui
rona - rona merah jambu di sudut pipi merekah seolah menjamah dan menggelitik ku

dingin...

menggigilku bergemelatuk dengan irama berpacu, menghias di sudut - sudut kamar berwarna legam
tanganku mememeluk hangat dengan lirih, seolah enggan untuk beringsut menjauh dari suasana ini
harap ku menggapai - gapai terang, hingga pagi terpanggil dan hadir tersenyum,

terdiam
hatiku terdiam
sukmaku terdiam
nafasku terdiam
denyutku terdiam

aku menjalar dengan angkuh, tak ingin ter usir dingin
aku merangkak dengan pongah, memburu cepat langkah sang surya

dingin...

membekukan tulang - tulang di seluruh raga
membuyarkan keinginan embun yang sedari tadi ingin bergulir
meruntuh kan pecahan - pecahan gelas di meja makan
membuyarkan serpihan - serpihan angan di antara ingin

dingin...
dingin...
dingin..

aku membuyar terhapus dan terserap di dasarnya..hingga berkerak dan kering

Aku ?

Aku waktu, yang menggelayut mesra diantara masa
Aku diri, yang bermanja di sapu mendung jingga
Aku pualam, putih bersinar menyilau mata, di sekujur badan
Aku terhapus, terjejak di jengkal pilu setiap insan

Bermakna tak berarti, berarti tak bertafsir, merenda hanya sekedar penghibur, di kala gundah bermain di dinding, denting senar gitar yang terpetik di jemari sang seniman, menggugah mau ku, bernafsu dengan memburu, serapah tak terucap, sumpah tak ter eja, membisu dalam damai, bergolak dengan seribu kecupan di bibir,

Membiru dengan kaku
Membeku dengan terbelah, sambil mengusap wajah
Semua terberai dan berderak kala tangan menyentuhnya, dingin.

Aku sepi, berseyam abadi di antara gelisah
Aku benci, mencibir bahagia dengan segumpal nista
Aku rindu, gelitik jiwa di buai semu
Aku sendu, mengharap dalam puja, sejengkal asa dalam dada

Aku kamu, hadir di setiap ruang dalam jiwa
Aku aku, tak henti merecau berbagai puisi, sekedar penyambung lidah
Agar kiranya kamu sudi singgah melantunkannya dan meresap dengan lara,
untuk kemudian muntah dengan cinta.

Tanya ?

Mencium harum tanah selepas hujan mendera mambuat hati terasa damai,
kurentangkan tangan seraya melantun beribu puja pada segenap keindahan alam,
sedikit demi sedikit kulepas sendi penat yang mendera tulang selepas kerja di hari muda,
jilatan angin lembut menerpa sekujur indra, beraroma embun menyejukkan kalbu,
di iringi denting melentik dawai dari surga.

Di hamparan rumput yang menghijau kurebahkan segenap jiwa,

memejam mata,

bersenyuman dengan mega,

dan mengecup lembut sentuhan hangat sang surya, yang seakan ikut hadir dalam suasana yang kucipta ini, desiran kicau burung nun jauh di atas pucuk cakrawala mengantar aku terlelap sejenak.

di ujung pelupuk mata,
aku melihat sosok mu,
membentuk segaris siluet berwarna jingga,
menoreh tulisan cinta di sebuah batu pualam putih tempat kita biasa bercumbu.

Kau begitu anggunya dengan lekukan tubuh itu
Kau begitu cantik dengan tiara yang bersemayam di ujung rambutmu.

Itu mengapa aku selalu tak berhenti untuk mencintaimu
Itu sebabnya ku selalu hadirkan dirimu di dalam mimpiku

Sesaat sedetik dalam detakan waktu, gerimis kembali menghunjam bumi, menggelitik nikmat di kulit, mambasahi rambut legam ku, membanjiri kalbuku dengan genangan – genangan rindu, aku tersenyum, tanpa sempat tersedak oleh alirannya,

aku berdiri…

Ku tengadahkan tangan
Ku tengadahkan kepala
Ku tengadahkan jiwa

Menyambut dingin yang menyapu hangat, berangsur membiru dan menyudut diantara onggokan temaram,
aku masih tersenyum, mengagumi, ke elokan paras wajah yang masih terpaku di sana, menatap ku dengan senyum. Celoteh yang biasanya kau tebar, kini hanya terganti dengan lambaian tangan,

kasih..

mengapa tiada henti diri ini mengagumimu
mengapa tak bisa kutahan keinginan ini untuk tak selalu menyanjungmu
memapahmu, dan merebahkannya di dalam jantungku,

kasih

telah berpuluh puisi kutulis
beribu bait lantunan lagu ku gumamkan
pun jua dirimu selalu hadir di sana.

Apa yang terjadi sebenarnya ?

Powered By Blogger